Minggu, 12 Maret 2017
Pompeii dan Desa yang Tertimbun Tanah
Pompeii
Pompeii adalah sebuah kota zaman Romawi kuno
yang telah menjadi puing dekat kota Napoli dan
sekarang berada di wilayah Campania, Italia. Pompeii hancur oleh letusan gunung Vesuvius pada 79 M. Debu letusan gunung
Vesuvius menimbun kota Pompeii dengan segala isinya sedalam beberapa kaki
menyebabkan kota ini hilang selama 1.600 tahun sebelum ditemukan kembali dengan
tidak sengaja. Semenjak itu penggalian kembali kota ini memberikan pemandangan
yang luar biasa terinci mengenai kehidupan sebuah kota di puncak kejayaan Kekaisaran
Romawi.
Saat ini
kota Pompeii merupakan salah satu dari Situs Warisan Dunia UNESCO.
Pompeii
terletak pada koordinat, sebelah tenggara kota Napoli, dekat dengan kota modern Pompei saat ini. Kota
ini berdiri di lokasi yang terbentuk dari aliran lava ke arah utara di
hilir Sungai Sarno (zaman dulu bernama
"Sarnus"). Saat ini daratan ini agak jauh letaknya di daratan, namun
dahulu merupakan daerah yang dekat dengan pantai.
Pada abad pertama M,
Pompeii hanyalah salah satu dari sekian kota yang berlokasi di sekitar kaki
Gunung Vesuvius. Wilayah ini cukup besar jumlah penduduknya yang menjadi makmur
karena daerah pertaniannya subur. Beberapa kelompok kota kecil di sekitar
Pompeii seperti Herculaneum juga menderita kerusakan atau kehancuran oleh
tragedi letusan Vesuvius.
Sejarah awal
Kota
Pompeii didirikan sekitar abad ke-6 SM oleh
orang-orang Osci atau Oscan, yaitu suatu kelompok
masyarakat di Italia tengah. Saat itu, kota ini sudah digunakan sebagai
pelabuhan yang aman oleh para pelaut Yunani dan Fenisia.
Ketika orang-orang Etruskan mengancam melakukan serangan, kota Pompeii
bersekutu dengan orang-orang Yunani yang kemudian menguasai Teluk Napoli. Pada
abad ke-5 SM orang-orang Samnium mendudukinya (beserta semua kota di Campania).
Para penguasa baru ini memaksakan arsitektur mereka dan memperluas wilayah
kota. Diyakini juga bahwa selama pendudukan orang-orang Samnium, Roma sempat
merebut kembali Pompeii untuk sementara waktu, namun teori ini belum
terbuktikan.
Pompeii
ikut ambil peranan dalam peperangan yang dimulai oleh kota-kota Campania melawan
Roma, namun pada tahun 89 SM kota ini dikepung oleh Sulla. Walaupun tentara Liga Sosial yang
dipimpin oleh Lucius Cluentius ikut
membantu dalam melawan Roma, pada tahun 80 SM Pompeii
dipaksa menyerah setelah Nola ditaklukkan.
Pompeii lalu menjadi sebuah koloni Roma dengan nama: Colonia Cornelia Veneria Pompeianorum.
Kota ini menjadi jalur penting bagi barang-barang yang datang lewat laut dan
harus dikirim ke Roma atau Italia Selatan yang terletak di sepanjang Via Appia yang
tidak jauh dari situ.
Pada
tahun 62 M, sebuah gempa bumi hebat merusakkan Pompeii bersama banyak kota
lainnya di Campania. Pada masa antara tahun 62 M hingga letusan besar Vesuvius
tahun 79 M, kota ini dibangun kembali, mungkin lebih megah dalam bidang
bangunan dan karya seni dari sebelumnya.
Vesuvius mengubur kota Pompeii
Para
penduduk Pompeii, seperti mereka yang hidup di daerah itu sekarang, telah lama
terbiasa dengan getaran kecil, namun pada 5 Februari 62 [1] terjadi gempa bumi yang
hebat yang menimbulkan kerusakan yang cukup besar di sekitar teluk itu dan
khususnya terhadap Pompeii. Sebagian dari kerusakan itu masih belum diperbaiki
ketika gunung berapi itu meletus [2].
Namun, ini mungkin merupakan sebuah gempa tektonik daripada
gempa yang disebabkan oleh meningkatnya magma yang terdapat
di dalam gunung berapi [3].
Sebuah
gempa lainnya, yang lebih ringan, terjadi pada 64; peristiwa ini dicatat
oleh Suetonius dalam
biografinya tentang Nero[4],
dalam De Vita Caesarum, dan oleh Tacitusdalam
Buku XV dari Annales [5] karena
hal ini terjadi ketika Nero berada di Napoli dan tampil dalam sebuah pertunjukan
untuk pertama kalinya di sebuah panggung umum.
Suetonius mencatat bahwa kaisar tidak memedulikan gempa itu dan terus bernyanyi
hingga selesai lagunya, sementara Tacitus mencatat bahwa teater itu runtuh
setelah orang-orang di dalamnya dievakuasi.
Penulis Plinius Muda menulis
bahwa getaran bumi itu "tidaklah begitu menakutkan karena sering terjadi
di Campania".
Pada
awal Agustus tahun 79, mata air dan sumur-sumur mengering [6].
Getaran-getaran gempa ringan mulai terjadi pada 20 Agustus 79 [7],
dan menjadi semakin sering pada empat hari berikutnya, namun
peringatan-peringatan itu tidak disadari orang, dan pada sore hari
tanggal 24 Agustus, sebuah letusan gunung berapi yang mematikan
terjadi. Ledakan itu merusakkan wilayah tersebut, mengubur Pompeii dan
daerah-daerah pemukiman lainnya. Kebetulan tanggal itu bertepatan dengan Vulcanalia, perayaan dewa
api Romawi.
Laporan
saksi mata satu-satunya yang bertahan dan dapat diandalkan tentang peristiwa
ini dicatat oleh Plinius Muda dalam dua pucuk surat [8] kepada
sejarahwan Tacitus.
Dari rumah pamannya di Misenum, sekitar 35 km dari gunung
berapi itu, Plinius melihat sebuah gejala luar biasa yang terjadi di atas Gn.
Vesuvius: sebuah awan gelap yang besar berbentuk seperti pohon pinus muncul
dari mulut gunung itu. Setelah beberapa lama, awan itu dengan segera menuruni
lereng-lereng gunung dan menutupi segala sesuatu di sekitarnya, termasuk laut
yang di dekatnya.
"Awan"
yang digambarkan oleh Plinius Muda itu kini dikenal sebagai aliran piroklastik, yaitu awan gas yang sangat
panas, debu, dan batu-batu yang meletus dari sebuah vulkano. Plinius mengatakan
bahwa beberapa gempa bumi terasa pada saat letusan itu dan diikuti oleh getaran
bumi yang dahsyat. Ia juga mencatat bahwa debu juga jatuh dalam bentuk
lapisan-lapisan yang sangat tebal dan desa tempat ia berada harus dievakuasi.
Laut pun tersedot dan didorong mundur oleh suatu "gempa bumi", sebuah
gejala yang disebut oleh para geolog modern sebagai tsunami.
Gambarannya
lalu beralih kepada fakta bahwa matahari tertutup oleh letusan itu dan siang
hari menjadi gelap gulita. Pamannya, Plinius Tua mengambil
beberapa kapal untuk meneliti gejala ini dan menyelamatkan orang-orang yang
terperangkap di kaki gunung itu. Karena tidak dapat mendarat dekat
gunungtersebut karena angin yang tidak menguntungkan dan debu yang dihasilkan
letusan itu, Plinius Tua melanjutkan perjalanan ke Stabiae sekitar
4,5 km dari Pompei. Ia meninggal di sana keesokan harinya. Dalam suratnya
yang pertama kepada Tacitus, kemenakannya menduga bahwa ini disebabkan karena
pamannya menghirup gas beracun. Namun Stabiae 16 km jauhnya dari tempat
kejadian dan rekan-rekannya tampaknya tidak terpengaruh oleh hirupan udara itu,
dan karena itu kemungkinan sekali kematiannya disebabkan karena Plinius yang
gemuk [9]meninggal
karena stroke atau serangan jantung [10].
Lenyap selama 16 abad
Lapisan
debu tebal menutupi dua buah kota yang lokasinya dekat dengan kaki gunung
Vesuvius, sehingga kedua kota ini menjadi hilang dan terlupakan. Kemudian kota
Herculaneum ditemukan kembali pada 1738, dan Pompeii
pada 1748.
Kedua kota ini digali kembali dari lapisan debu tebal dengan membebaskan semua
bangunan-bangunan dan lukisan dinding yang masih utuh. Sebenarnya, kota ini
telah ditemukan kembali pada 1599 oleh
seorang arsitek bernama Fontana yang menggali sebuah jalan
baru untuk sungai Sarno, namun membutuhkan lebih dari 150
tahun kemudian barulah sebuah upaya/kampanye serius dilakukan untuk membebaskan
kota ini dari timbunan tanah.
Raja Charles VII dari dua Sisilia sangat
tertarik dengan temuan-temuan ini bahkan hingga ia diangkat menjadi raja
Spanyol. Giuseppe Fiorellimengambil
tanggung jawab ekskavasi pada 1860.
Hingga saat itu Pompeii dan Herculaneum dianggap telah hilang selamanya. Di
kemudian hari, Giuseppe Fiorelli adalah orang yang menyarankan penggunaan
teknik injeksi plester terhadap ruangan kosong dalam tubuh korban
Vesuvius yang sudah hancur untuk membentuk kembali permukaan tubuh mereka
secara sempurna.
Pasangan penduduk Pompeii
Ada
teori tanpa bukti yang menyatakan bahwa Fontana menemukan beberapa fresko
erotis selama penggalian yang dilakukannya, namun karena norma-norma kesopanan
yang amat kuat saat itu ia mengubur fresko-fresko itu kembali. Hal ini
diperkuat oleh laporan-laporan penggalian oleh tim lain sesudahnya yang menyatakan
bahwa daerah galian tersebut menunjukkan suasana telah pernah digali dan
dikuburkan kembali.
Forum (bangunan untuk keperluan sosial), pemandian, beberapa rumah/gedung
dan sejumlah villa telah dapat diselamatkan dengan baik. Sebuah hotel (dengan
luas 1000 meter persegi) ditemukan dekat dengan lokasi kota. Hotel ini lalu
dinamakan "Grand Hotel Murecine".
Fakta
menyatakan bahwa Pompeii merupakan satu-satunya situs kota kuno di mana
keseluruhan struktur topografinya dapat diketahui dengan pasti tanpa memerlukan
modifikasi atau penambahan. Kota ini tidak dibagi sesuai dengan pola-pola kota
Romawi pada umumnya dikarenakan permukaan tanah yang tidak datar (kota ini
berada di kaki gunung). Namun jalan-jalan di kota ini dibuat lurus dan berpola
pada tradisi murni Romawi kuno, permukaan jalan terdiri dari batu-batu poligon
dan memiliki bangunan-bangunan rumah dan toko-toko di kedua sisi jalan,
mengikuti decumanus dan cardusnya. Decumanus adalah
jalan-jalan yang merentang dari timur ke barat, sementara cardus merentang
dari utara ke selatan.
Gempa bumi, longsor dan kerusakan akibat letusan gunung berapi
Sebuah
bidang penelitian penting saat ini berkaitan dengan struktur-struktur, yang
kini sedang diperbaiki, pada masa letusan (kemungkinan rusak pada waktu gempa
pada tahun 62). Sebagian dari lukisan-lukisan tua yang rusak agaknya tertutup
dengan lukisan-lukisan yang lebih baru, dan alat-alat modern digunakan untuk
menemukan kembali gambaran dari fresko-fresko yang telah lama tersembunyi.
Alasan tentang mengapa struktur-struktur ini masih diperbaiki 10 tahun setelah
letusan itu adalah kenyataan bahwa frekuensi ledakan menjelang ledakan yang
hebat itu semakin kecil.
Kebanyakan
penggalian arkeologis di situs itu hanya sampai tingkat jalanan pada peristiwa
vulkanik tahun 79. Penggalian-penggalian yang lebih dalam di bagian Pompeii
yang lebih tua dan contoh-contoh utama dari pengeboran-pengeboran di dekatnya
telah menunjukkan lapisan-lapisan dari berbagai sedimen yang
menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa lain telah melanda kota itu sebelum
terjadinya ledakan yang terkenal itu, karena ada tiga lapisan sedimen yang
terletak di bawah kota itu yang ditemukan di atas lapisan lava. Bercampur
dengan sedimen ini ditemukan pula oleh para arkeolog potongan-potongan kecil
dari tulang-tulang binatang, potongan-potongan keramik dan
potongan-potongan tumbuhan. Dengan menggunakan penanggalan karbon, lapisan yang tertua
diperkirakan berasal dari abad ke-8 SM, sekitar masa pendirian kota itu. Dua
lapisan lainnya dipisahkan dari lapisan-lapisan lainnya dengan lapisan tanah
yang dikembangkan dengan baik atau merupakan jalan yang dibuat orang Romawi
pada sekitar abad ke-4 SM dan abad ke-2 SM. Teori di balik lapisan-lapisan dari
beraneka sedimen ini adalah tanah longsor yang
hebat, yang mungkin didorong oleh hujan yang turun berkepanjangan.
(Senatore, et al., 2004)
Pada
penggalian-penggalian awal situs ini, sesekali ditemukan lubang di dalam
lapisan abu yang berisi sisa-sisa tulang manusia. Giuseppe Fiorelli mengusulkan
untuk mengisi ruang-ruang kosong itu dengan semen. Apa yang dihasilkan adalah
bentuk-bentuk yang sangat akurat dan mengerikan dari Pompeiani (warga
Pompeii) yang gagal melarikan diri, dalam saat-saat terakhir hidup mereka
(lihat [11], [12], [13]). Untuk sebagian dari
mereka, ungkapan ketakutan itu cukup jelas kelihatan.
Para
korban letusan
Para geolog telah
menggunakan sifat-sifat magnetik dari batu-batu dan serpihan-serpihan yang
ditemukan di Pompeii untuk memperkirakan temperatur aliran piroklaktik yang
mengubur kota itu. Ketika batu yang meleleh itu membeku kembali, mineral
magnetik dalam batu itu mencatat arah bidang magnet Bumi.
Bila bahan itu dipanaskan melampaui temperatur tertentu, yang dikenal
sebagai temperatur Curie, bidang
magnetnya mungkin akan dimodivikasi atau sama sekali diatur kembali.
Analisis
terhadap lebih dari 200 buah batu vulkanik dan serpihan-serpihan, seperti atap
genting, menunjukkan bahwa awan debu itu panasnya hingga 850 °C ketika
muncul dari mulut Vesuvius. Awan itu mendingin hingga kurang dari 350 °C
pada saat tiba di kota itu. Banyak dari bahan-bahan yang dianalisis mengalami
temperatur antara 240 °C hingga 340 °C. Beberapa daerah
memperlihatkan temperatur yang lebih rendah, hanya 180 °C. Ada teori yang
mengatakan bahwa guncangan mungkin telah menyebabkan tercampurnya udara dingin
ke dalam awan debu itu. (Cioni, et al., 2004)
Penemuan-penemuan unik
Kota
Pompeii memberikan gambaran sesaat mengenai kehidupan kota Romawi pada abad
pertama. Gambaran sesaat ini memperlihatkan bahwa Pompeii merupakan kota yang
sangat hidup sebelum terjadinya letusan gunung. Bukti-bukti memberi petunjuk
hingga ke hal yang amat detail dari kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya,
pada lantai sebuah rumah (rumah Sirico) sebuah tulisan terkenal Salve,
lucru (Selamat datang, uang), mungkin dimaksudkan sebagai humor,
menunjukkan kepada kita perusahaan perdagangan yang dimiliki oleh dua sejawat,
Sirico dan Nummianus (namun nama ini mungkin hanya julukan, karena nummus berarti
mata uang, uang). Di rumah-rumah lainnya, terdapat banyak gambaran terinci
mengenai profesi dan kategori, seperti pekerja binatu (Fullones).
Kendi-kendi anggur bertuliskan Vesuvinum (istilah permainan
kata dalam perdagangan). Grafiti yang dipahat di dinding memberitahu kita akan
nama suatu jalan.
Teatro
Grande "Teater Besar" dengan kapasitas penoton yang banyak terletak
di sebelah teater Piccollo
Ketika
letusan terjadi, kota Pompeii mungkin memiliki penduduk sejumlah 20.000 orang
dan berlokasi di area di mana orang Roma memiliki vila-vila liburan mereka.
Banyak pelayanan yang disediakan di kota Pompeii ditemukan, misalnya: Macellum (pasar
raya menyediakan makanan), Pistrinum (penggilingan gandum),Thermopolium (sejenis
bar yang menyediakan minuman dingin dan panas), cauporioe (restoran
kecil), dan sebuah amfiteater.
Tahun
2002 penemuan lain yang tak kalah pentingnya di hilir sungai Sarno
mengungkapkan bahwa pelabuhan tersebut juga memiliki banyak penduduk dan para
penduduknya tinggal di palafitte (desa
dengan rumah-rumah yang menjorok di atas danau), dalam sebuah sistem kanal
yang, menurut para ilmuwan, menyerupai kanal-kanal di Venesia.
Namun fakta ini masih harus dipelajari lebih jauh.
Menurut
Steven Ellis, salah satu tim arkeolog University of Cincinnati, penggalian
situs menghasilkan analisis arkeologi terkait hunian lengkap dimana situs itu
juga menyimpan pusat bisnis yang terletak disalah satu gerbang tersibuk di
Pompeii, Porta Stabia. Wilayah situs mencakup 10 bidang bangunan terpisah dan memiliki
20 bangunan toko yang sebagian besar menjual makanan dan minuman. Salah satu di
antara bukti yang diperiksa merupakan limbah yang diperoleh dari saluran air
dan 10 kakus. Limbah makanan yang ditemukan berupa makanan mineral berasal dari
dapur dan kotoran manusia, salah satunya adalah sisa makanan terutama
biji-bijian. Materi yang dianalisis dari saluran air pembuangan mengungkapkan
berbagai kuantitas bahan yang sangat jelas membedakan sosial dan ekonomi antara
kegiatan dan kebiasaan konsumsi masing-masing properti, termasuk diantaranya
limbah dari penginapan.
Temuan
limbah makanan mengungkapkan jenis konsumsi murah dan elit seperti buah-buahan,
kacang, zaitun, ikan lokal dan telur ayam, serta potongan daging yang harganya
jauh lebih mahal. Selain itu, limbah kotoran yang ditemukan dari saluran air
tetangga juga mengungkapkan adanya perbedaan sosial ekonomi antara tetangga.
Saluran dari properti pusat diidentifikasi mengandung berbagai makanan kelas
atas yang mungkin diperoleh secara impor dari luar Italia, salah satunya
kerang, landak laut hingga kaki jerapah. Tulang kaki jerapah dianggap sebagai
makanan eksotis dan ditegaskan bahwa fakta ini dianggap sebagai satu-satunya
bukti yang pernah tercatat di penggalian arkeologi Romawi di Italia. Berbagai makanan
saji yang disediakan oleh restoran di kota Pompeii tidak hanya menggambarkan
adanya perdagangan dari wilayah jauh, tetapi juga menggambarkan kekayaan dan
makanan diet kaum non elit. Salah satu bukti adanya perdagangan dari negara
lain adalah impor rempah-rempah yang hanya bisa diperoleh dari wilayah
Indonesia.
Kisah Nyata
Sodom-Gomorah di Banjarnegara Desa Yang Hilang
Sekitar 4000 tahun yang lalu, Sodom dan Gomora
menyandang reputasi tersebut. Walau Kitab suci tak pernah menyebutkan apa
perbuatan mereka secara mendetil sehingga bisa bernasib seperti itu. Walaupun
demikian, Kitab suci sangat jelas memberikan penggambaran mengenai hukuman yang
mereka terima dari Sang Pencipta.
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu (terjungkir-balik sehingga) yang di atas ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS Huud ayat 82)
Jika cerita mengenai Sodom dan Gomora memang terjadi seperti apa yang dikisahkan di dalam Al-Quran maupun Injil, maka sangat mungkin terjadi di suatu lahan kosong terpencil di sebelah lautan tanpa kehidupan. Tapi, dimanakah tempat itu?
Seperti yang kita ketahui, banyak tempat yang dikisahkan didalam kitab suci sulit untuk ditentukan dimana lokasi yang sebenarnya. Contohnya didalam Kitab Taurat yang membahas tentang lima kota lembah. Sampai saat ini kita hanya bisa berspekulasi bahwa kelima kota tersebut berada disekitar laut mati.
Cerita mengenai Sodom dan Gomora ini terjadi di zaman Ibrahim a.s, berabad-abad sebelum Musa a.s keluar dari tanah Mesir.
Tak ada yang menemukan petunjuk kota seperti itu pernah ada, sebab tak pernah ada orang yang sungguh-sungguh mencari-nya. Hingga pada tahun 1924, Ahli purbakala bernama William Albright berangkat menuju ke Laut Mati untuk melakukan penelitian disana. Beberapa orang yang bersamanya jelas mencari keberadaan sisa-sisa Sodom dan Gomora. Mereka mengitari pantai tenggara dari laut mati hingga mereka ahirnya tiba di sutus purbakala Bab-edh-dhra.
Bab-edh-dhra (dibaca : Babhedra), merupakan situs jaman perunggu, namun tak ada petunjuk jika situs itu meupakan suatu kota. Tampaknya daerah itu merupakan suatu daerah pemakaman. Namun Albright tak memiliki sumber daya untuk menggalinya.
Jadi hampir 50 tahun berlalu sebelum ada yang kembali ke situs tersebut untuk melakukan penggalian. Ahli Purbakala Paul Lapp memimpin penggalian di tahun 1967, dan Thomas Schaub termasuk salah satu penggalinya.
Bab-edh-dhra merupakan makam terbesar khas jaman perunggu yang mereka gali, panjangnya 15 meter dan lebarnya 7 meter. Disini mereka juga menemukan makam berisi perhiasan emas dan menggali lebih 700 tembikar yang merupakan hadiah penguburan termasuk tempat parfum kecil dan banyak benda lain seperti kain.
Situs ini sungguh menakjubkan, makam ini telah digunakan selama 1000 tahun lamanya, dari zaman Ibrahim hingga penghancuran Sodom. Namun, tak ada apapun untuk mengaitkan pemakaman kuno itu dengan Sodom.
Misterinya, sekitar tahun 2350 SM, penguburan itu mendadak berhenti tak ada yang tahu mengapa. Ada sejumlah sebab mengapa suatu situs tak ditempati lagi, beberapa bisa disimpulkan, beberapa lagi tidak. Penyebab pada umumnya mungkin persediaan air mengering, lingkungan berubah, iklim berubah atau orang-orangnya dibasmi total.
Penelitian-penelitian arkeologi dan geologi yang telah dilakukan sejak tahun 1920-an di wilayah Laut Mati menemukan bahwa bekas-bekas kota Sodom dan Gomora paling mungkin terletak di tepi tenggara Laut Mati, yaitu dua kota yang di dalam arkeologi dikenal sebagai Bab edh-Dhra (Sodom) dan Numeira (Gomora).
Di kedua kota itu ditemukan banyak artefak dan rangka manusia yang menunjukkan bekas kejadian bencana pada sekitar tahun 2000 SM. Laut Mati merupakan pull-apart basin yang dibentuk oleh tarikan transtensional dua sesar mendatar mengiri (sinistral-transtensional duplex) Sesar Yudea dan Sesar Moab.
Sodom dan Gomora terletak di atas Sesar Moab. Laut Mati dicirikan oleh endapan elisional, kegempaan yang tinggi, fenomena diapir, gunung garam dan gunung lumpur, serta akumulasi hidrokarbon (aspal dan bitumen) dengan kadar belerang tinggi.
Pembinasaan Sodom dan Gomora diinterpretasikan terjadi melalui bencana geologi dengan urutan :
1. Pergerakan Sesar Moab
2. Gempa dengan magnitude 7,0+ yang menghancurkan kota-kota dan sekitarnya serta likuifaksi yang menenggelamkan sebagian wilayah kota-kota,
3. Erupsi gunung garam dan gunung lumpur yang meletuskan halit, anhidrit, batu-batuan, lumpur, aspal, bitumen, dan belerang,
4. Kebakaran kota-kota dan sekitarnya karena material hidrokarbon yang diletuskan terbakar sehingga menjadi hujan api dan belerang.
Bencana katastrofik ini telah meratakan Sodom dan Gomora dan menewaskan seluruh penduduknya kecuali Luth dan dua putrinya. Api dari langit yang menghujani Sodom dan Gomora bukan fenomena astroblem (seperti meteor), melainkan fenomena katastrofi (malapetaka) geologi berupa aspal dan bitumen yang terbakar serta belerang yang berasal dari letusan gunung garam dan gunung lumpur.
Kota Sodom dan Gomorrah adalah dua kota yang dikaitkan dengan kisah Nabi Luth dan kaumnya. Paling tidak, dalam pandangan Islam, Kristen, Yahudi, diyakini bahwa dua kota ini memang pernah ada, dan kemudian dihancurkan Tuhan akibat begitu besarnya kemaksiatan yang dilakukan oleh penduduknya. Kota inilah yang daripadanya lahir istilah sodomy, and sodomite. Bahkan, dalam bahasa Ibrani, Sodom itu sendiri berarti terbakar, dan Gomorrah berarti terkubur.
Kaitannya dalam Qur’an, ini termaktub dalam “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu (terjungkir-balik sehingga) yang di atas ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS Huud ayat 82). Dan dalam Kitab Genesis, disebutkan bahwa “dikarenakan oleh dosa-dosa penduduknya, Sodom, Gomorrah, Admah dan Zeboim dihancurkan oleh sulfur dan api dari Tuhan (19: 24-25).
Pertanyaan yang pertama, adalah dimanakah sesungguhnya lokasi Kota Sodom dan Gomorrah itu. Ternyata sangat sulit untuk menjawabnya, karena bekas atau puing-puing kedua kota ini sulit sekali untuk ditemukan. Misteri keberadaan Sodom dan Gomorrah mengundang banyak arkeologis, geologis, dan paleoclimatologis untuk mengungkapkannya sejak tahun 1923.
Harris dan Beardow dalam ”The destruction of Sodom and Gomorrah: a geotechnical perspective” yang dimuat dalam Quarterly Journal of Engineering Geology and Hydrogeology (1995) memperkirakan bahwa Sodom dan Gomorrah terletak di utara Semenanjung Lisan atau di sisi timur Laut Mati bagian utara. Laut Mati terletak antara Israel dan Jordania.
Pendapat Harris dan Beardow didasarkan pada keterangan Strabo, seorang sejarahwan dan geografer dari Yunani yang hidup dari 64 SM sampai 23 M. Menurut Strabo, selain Sodom dan Gomorrah diperkirakan juga terdapat 11 kota lain yang kemudian populer dengan nama ”the Lost Cities of the Plain”. Kota ini memang ada pada permulaan hingga pertengahan zaman perunggu (Bronze Age). kira-kira 4000 tahun yang lalu, atau sekitar abad ke-23 hingga 21 SM.
Ketika itu, kota-kota ini berada pada daerah yang sangat subur dikarenakan banyaknya sumber air (wadi). Olehnya itu, hasil pertanian sangatlah melimpah dan penduduknya padat. Selain itu, terdapat deposit bitumen (asphalt) yang besar, dan menjadi salah satu sumber pencaharian penduduk. Asphalt dijual ke Mesir Kuno.
Pada saat sekarang, lokasi yang diyakini sebagai Sodom dan Gomorrah telah menjadi tanah tandus dengan tingat salinitas tinggi. Tentang penyebabnya, Nissembaum (1994) dalam ”Sodom, Gomorrah and the other lost Cities in the Plain – A Climatic Perspective” mengatakan bahwa perubahan iklim yang begitu cepat, telah mengubah daerah ini dari yang subur menjadi tandus dan kering.
Perubahan iklim inilah yang juga menyebabkan kehancuran Kerajaan Mesir Kuno dan penyusutan hutan di Israel Utara, bukti paleobotani di Israel Selatan, dan penduduk meninggalkan permukiman di Lembah Jordan dan Selatan Jordan ketika itu.
Lokasi yang diyakini oleh Harris dan Beardow ini juga diteliti oleh Professor Lynne Frostick, seorang geologist dari Hull University Inggirs, dan Jonathan Tubb dari British Museum (dimuat dalam BBC History, J Cecil, updated 2009). Mereka mengadakan penggalian arkeologi tepatnya di Tell es-Sa’diyeh dekat Laut Mati bagian utara.
Diketemukan bekas pabrik minyak zaitun. Hal ini menandakan betapa tingginya peradaban ketika itu. Tubb mengatakatan, bahwa dilihat dari taraf peradabannya, diperkirakan lokasi ini ada pada zaman permulaan Bronze Age, sezaman dengan masa Sodom dan Gomorah.
Lain lagi pada penemuan arkeologi di Numeira, juga dekat Laut Mati. Ditemukan puing-puing kota tua dan peradabannya yang diperkirakan dari zaman perunggu. Kota ini tertimbun lapisan tanah dan tumpukan batu, serta lapisan abu arang yang menandakan ada kebakaran hebat yang pernah terjadi.
Mengapa Sodom dan Gomorah dapat hancur dengan skala yang amat dahsyat. Faktor utamanya menurut Harris dan Beardow (1995) adalah bahwa Sodom dan Gomorah berada sangat dekat pada patahan Laut Mati (left lateral strike-slip fault). Jalur patahan ini merupakan bagian dari Great Rift Valley System. Menurut Shmuel Marco, geologis Israel, dari bukti geologi, diperkirakan minimal ada enam kali gempa dengan skala paling rendah 6 SR pernah terjadi.
Sebagai bukti, Mike Finnegan, forensik antropologis dari Amerika Serikat, mengatakan bahwa tiga kerangka manusia yang ditemukan di Numeira. Dari posisi tulang patah, diketahui bahwa mereka mati dalam kondisi hancur. Salah satu kemungkinannya adalah mereka mati dijatuhi reruntuhan batu akibat gempa. Dari carbon dating, diketahui umur kerangka itu adalah 2300 SM, atau sezaman dengan zaman perunggu.
Selain itu, dari tinjauan geoteknik, kandungan tanah pada daerah yang diyakni merupakan loose sand, dan clay sehingga ketika gempa terjadi mudah sekali mengalami likuifaksi. Gempa menjadi trigger pada keadaan dimana kandungan air tanah pada tanah tersebut mengalami peningkatan sehingga tanah bersifat seperti lumpur hidup dan tentunya sangat lunak. Akibatnya, tanah tak lagi mendukung bangunan yang ada di atasnya. Bangunan akan tenggelam ke dalam tanah.
Fenomena ini diungkapkan oleh Haigh dan Madabushi (2002) dari Cambridge University dalam ”Dynamic Centrifuge Modelling of the Destruction of Sodom and Gomorrah ”. Dalam eksperimen di laboratorium, mereka mengambil membuat pemodelan mini kota pada zaman perunggu, termasuk lapisan tanahnya sesuai dengan kondisi geologi di sekitar Laut Mati. Hasilnya, ketika model diguncang gempa dengan skala tertentu, likuifaksi memang terjadi, dan bangunan teggelam masuk ke dalam tanah.
Hal inilah yang mungkin menyebabkan mengapa bukti arkeologi Sodom dan Gomorrah sangat sulit ditemukan. Diperkirakan bahwa sekarang kota ini telah berada di bawah dasar Laut Mati. Olehnya itu John Whitaker (1997) merekomendasi untuk diadakannya penyelidikan bawah laut untuk menelusuri puing-puing Sodom dan Gomorrah.
Selain itu, ada faktor lain yang menyebabkan dahsyatnya proses kehancuran Sodom dan Gomorrah. Adanya gempa, juga memungkinkan terjadinya rekahan-rekahan pada deposit asphalt yang memang banyak terdapat di lokasi tersebut. Beberapa ahli termasuk Harris dan Beardow (1995) mengatakan bahwa kandungan gas dengan tekanan tinggi dari dalam rekahan, menyembur dan membakar deposit asphalt. Tekanan tinggi ini akhirnya melontarkan asphalt terbakar itu keluar, termasuk menghujani Sodom dan Gomorrah.
Jadi dapat dibayangkan, begitu besarnya proses kehancuran Sodom dan Gomorrah. Kombinasi antara gempa, likuifaksi, dan hujan asphalt-sulfur yang terbakar, yang meluluhlantakkan kota dan menghancurkan penduduknya sehancur-hancurnya.
Terkecuali, Nabi Luth AS, atas petunjuk Allah SWT mengevakuasi anak-anaknya keluar dari ”the Sin Cities” itu. Subhanallah. Mudah-mudahan ini menjadi petunjuk bagi orang yang beriman.
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu (terjungkir-balik sehingga) yang di atas ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS Huud ayat 82)
Jika cerita mengenai Sodom dan Gomora memang terjadi seperti apa yang dikisahkan di dalam Al-Quran maupun Injil, maka sangat mungkin terjadi di suatu lahan kosong terpencil di sebelah lautan tanpa kehidupan. Tapi, dimanakah tempat itu?
Seperti yang kita ketahui, banyak tempat yang dikisahkan didalam kitab suci sulit untuk ditentukan dimana lokasi yang sebenarnya. Contohnya didalam Kitab Taurat yang membahas tentang lima kota lembah. Sampai saat ini kita hanya bisa berspekulasi bahwa kelima kota tersebut berada disekitar laut mati.
Cerita mengenai Sodom dan Gomora ini terjadi di zaman Ibrahim a.s, berabad-abad sebelum Musa a.s keluar dari tanah Mesir.
Tak ada yang menemukan petunjuk kota seperti itu pernah ada, sebab tak pernah ada orang yang sungguh-sungguh mencari-nya. Hingga pada tahun 1924, Ahli purbakala bernama William Albright berangkat menuju ke Laut Mati untuk melakukan penelitian disana. Beberapa orang yang bersamanya jelas mencari keberadaan sisa-sisa Sodom dan Gomora. Mereka mengitari pantai tenggara dari laut mati hingga mereka ahirnya tiba di sutus purbakala Bab-edh-dhra.
Bab-edh-dhra (dibaca : Babhedra), merupakan situs jaman perunggu, namun tak ada petunjuk jika situs itu meupakan suatu kota. Tampaknya daerah itu merupakan suatu daerah pemakaman. Namun Albright tak memiliki sumber daya untuk menggalinya.
Jadi hampir 50 tahun berlalu sebelum ada yang kembali ke situs tersebut untuk melakukan penggalian. Ahli Purbakala Paul Lapp memimpin penggalian di tahun 1967, dan Thomas Schaub termasuk salah satu penggalinya.
Bab-edh-dhra merupakan makam terbesar khas jaman perunggu yang mereka gali, panjangnya 15 meter dan lebarnya 7 meter. Disini mereka juga menemukan makam berisi perhiasan emas dan menggali lebih 700 tembikar yang merupakan hadiah penguburan termasuk tempat parfum kecil dan banyak benda lain seperti kain.
Situs ini sungguh menakjubkan, makam ini telah digunakan selama 1000 tahun lamanya, dari zaman Ibrahim hingga penghancuran Sodom. Namun, tak ada apapun untuk mengaitkan pemakaman kuno itu dengan Sodom.
Misterinya, sekitar tahun 2350 SM, penguburan itu mendadak berhenti tak ada yang tahu mengapa. Ada sejumlah sebab mengapa suatu situs tak ditempati lagi, beberapa bisa disimpulkan, beberapa lagi tidak. Penyebab pada umumnya mungkin persediaan air mengering, lingkungan berubah, iklim berubah atau orang-orangnya dibasmi total.
Penelitian-penelitian arkeologi dan geologi yang telah dilakukan sejak tahun 1920-an di wilayah Laut Mati menemukan bahwa bekas-bekas kota Sodom dan Gomora paling mungkin terletak di tepi tenggara Laut Mati, yaitu dua kota yang di dalam arkeologi dikenal sebagai Bab edh-Dhra (Sodom) dan Numeira (Gomora).
Di kedua kota itu ditemukan banyak artefak dan rangka manusia yang menunjukkan bekas kejadian bencana pada sekitar tahun 2000 SM. Laut Mati merupakan pull-apart basin yang dibentuk oleh tarikan transtensional dua sesar mendatar mengiri (sinistral-transtensional duplex) Sesar Yudea dan Sesar Moab.
Sodom dan Gomora terletak di atas Sesar Moab. Laut Mati dicirikan oleh endapan elisional, kegempaan yang tinggi, fenomena diapir, gunung garam dan gunung lumpur, serta akumulasi hidrokarbon (aspal dan bitumen) dengan kadar belerang tinggi.
Pembinasaan Sodom dan Gomora diinterpretasikan terjadi melalui bencana geologi dengan urutan :
1. Pergerakan Sesar Moab
2. Gempa dengan magnitude 7,0+ yang menghancurkan kota-kota dan sekitarnya serta likuifaksi yang menenggelamkan sebagian wilayah kota-kota,
3. Erupsi gunung garam dan gunung lumpur yang meletuskan halit, anhidrit, batu-batuan, lumpur, aspal, bitumen, dan belerang,
4. Kebakaran kota-kota dan sekitarnya karena material hidrokarbon yang diletuskan terbakar sehingga menjadi hujan api dan belerang.
Bencana katastrofik ini telah meratakan Sodom dan Gomora dan menewaskan seluruh penduduknya kecuali Luth dan dua putrinya. Api dari langit yang menghujani Sodom dan Gomora bukan fenomena astroblem (seperti meteor), melainkan fenomena katastrofi (malapetaka) geologi berupa aspal dan bitumen yang terbakar serta belerang yang berasal dari letusan gunung garam dan gunung lumpur.
Kota Sodom dan Gomorrah adalah dua kota yang dikaitkan dengan kisah Nabi Luth dan kaumnya. Paling tidak, dalam pandangan Islam, Kristen, Yahudi, diyakini bahwa dua kota ini memang pernah ada, dan kemudian dihancurkan Tuhan akibat begitu besarnya kemaksiatan yang dilakukan oleh penduduknya. Kota inilah yang daripadanya lahir istilah sodomy, and sodomite. Bahkan, dalam bahasa Ibrani, Sodom itu sendiri berarti terbakar, dan Gomorrah berarti terkubur.
Kaitannya dalam Qur’an, ini termaktub dalam “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu (terjungkir-balik sehingga) yang di atas ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS Huud ayat 82). Dan dalam Kitab Genesis, disebutkan bahwa “dikarenakan oleh dosa-dosa penduduknya, Sodom, Gomorrah, Admah dan Zeboim dihancurkan oleh sulfur dan api dari Tuhan (19: 24-25).
Pertanyaan yang pertama, adalah dimanakah sesungguhnya lokasi Kota Sodom dan Gomorrah itu. Ternyata sangat sulit untuk menjawabnya, karena bekas atau puing-puing kedua kota ini sulit sekali untuk ditemukan. Misteri keberadaan Sodom dan Gomorrah mengundang banyak arkeologis, geologis, dan paleoclimatologis untuk mengungkapkannya sejak tahun 1923.
Harris dan Beardow dalam ”The destruction of Sodom and Gomorrah: a geotechnical perspective” yang dimuat dalam Quarterly Journal of Engineering Geology and Hydrogeology (1995) memperkirakan bahwa Sodom dan Gomorrah terletak di utara Semenanjung Lisan atau di sisi timur Laut Mati bagian utara. Laut Mati terletak antara Israel dan Jordania.
Pendapat Harris dan Beardow didasarkan pada keterangan Strabo, seorang sejarahwan dan geografer dari Yunani yang hidup dari 64 SM sampai 23 M. Menurut Strabo, selain Sodom dan Gomorrah diperkirakan juga terdapat 11 kota lain yang kemudian populer dengan nama ”the Lost Cities of the Plain”. Kota ini memang ada pada permulaan hingga pertengahan zaman perunggu (Bronze Age). kira-kira 4000 tahun yang lalu, atau sekitar abad ke-23 hingga 21 SM.
Ketika itu, kota-kota ini berada pada daerah yang sangat subur dikarenakan banyaknya sumber air (wadi). Olehnya itu, hasil pertanian sangatlah melimpah dan penduduknya padat. Selain itu, terdapat deposit bitumen (asphalt) yang besar, dan menjadi salah satu sumber pencaharian penduduk. Asphalt dijual ke Mesir Kuno.
Pada saat sekarang, lokasi yang diyakini sebagai Sodom dan Gomorrah telah menjadi tanah tandus dengan tingat salinitas tinggi. Tentang penyebabnya, Nissembaum (1994) dalam ”Sodom, Gomorrah and the other lost Cities in the Plain – A Climatic Perspective” mengatakan bahwa perubahan iklim yang begitu cepat, telah mengubah daerah ini dari yang subur menjadi tandus dan kering.
Perubahan iklim inilah yang juga menyebabkan kehancuran Kerajaan Mesir Kuno dan penyusutan hutan di Israel Utara, bukti paleobotani di Israel Selatan, dan penduduk meninggalkan permukiman di Lembah Jordan dan Selatan Jordan ketika itu.
Lokasi yang diyakini oleh Harris dan Beardow ini juga diteliti oleh Professor Lynne Frostick, seorang geologist dari Hull University Inggirs, dan Jonathan Tubb dari British Museum (dimuat dalam BBC History, J Cecil, updated 2009). Mereka mengadakan penggalian arkeologi tepatnya di Tell es-Sa’diyeh dekat Laut Mati bagian utara.
Diketemukan bekas pabrik minyak zaitun. Hal ini menandakan betapa tingginya peradaban ketika itu. Tubb mengatakatan, bahwa dilihat dari taraf peradabannya, diperkirakan lokasi ini ada pada zaman permulaan Bronze Age, sezaman dengan masa Sodom dan Gomorah.
Lain lagi pada penemuan arkeologi di Numeira, juga dekat Laut Mati. Ditemukan puing-puing kota tua dan peradabannya yang diperkirakan dari zaman perunggu. Kota ini tertimbun lapisan tanah dan tumpukan batu, serta lapisan abu arang yang menandakan ada kebakaran hebat yang pernah terjadi.
Mengapa Sodom dan Gomorah dapat hancur dengan skala yang amat dahsyat. Faktor utamanya menurut Harris dan Beardow (1995) adalah bahwa Sodom dan Gomorah berada sangat dekat pada patahan Laut Mati (left lateral strike-slip fault). Jalur patahan ini merupakan bagian dari Great Rift Valley System. Menurut Shmuel Marco, geologis Israel, dari bukti geologi, diperkirakan minimal ada enam kali gempa dengan skala paling rendah 6 SR pernah terjadi.
Sebagai bukti, Mike Finnegan, forensik antropologis dari Amerika Serikat, mengatakan bahwa tiga kerangka manusia yang ditemukan di Numeira. Dari posisi tulang patah, diketahui bahwa mereka mati dalam kondisi hancur. Salah satu kemungkinannya adalah mereka mati dijatuhi reruntuhan batu akibat gempa. Dari carbon dating, diketahui umur kerangka itu adalah 2300 SM, atau sezaman dengan zaman perunggu.
Selain itu, dari tinjauan geoteknik, kandungan tanah pada daerah yang diyakni merupakan loose sand, dan clay sehingga ketika gempa terjadi mudah sekali mengalami likuifaksi. Gempa menjadi trigger pada keadaan dimana kandungan air tanah pada tanah tersebut mengalami peningkatan sehingga tanah bersifat seperti lumpur hidup dan tentunya sangat lunak. Akibatnya, tanah tak lagi mendukung bangunan yang ada di atasnya. Bangunan akan tenggelam ke dalam tanah.
Fenomena ini diungkapkan oleh Haigh dan Madabushi (2002) dari Cambridge University dalam ”Dynamic Centrifuge Modelling of the Destruction of Sodom and Gomorrah ”. Dalam eksperimen di laboratorium, mereka mengambil membuat pemodelan mini kota pada zaman perunggu, termasuk lapisan tanahnya sesuai dengan kondisi geologi di sekitar Laut Mati. Hasilnya, ketika model diguncang gempa dengan skala tertentu, likuifaksi memang terjadi, dan bangunan teggelam masuk ke dalam tanah.
Hal inilah yang mungkin menyebabkan mengapa bukti arkeologi Sodom dan Gomorrah sangat sulit ditemukan. Diperkirakan bahwa sekarang kota ini telah berada di bawah dasar Laut Mati. Olehnya itu John Whitaker (1997) merekomendasi untuk diadakannya penyelidikan bawah laut untuk menelusuri puing-puing Sodom dan Gomorrah.
Selain itu, ada faktor lain yang menyebabkan dahsyatnya proses kehancuran Sodom dan Gomorrah. Adanya gempa, juga memungkinkan terjadinya rekahan-rekahan pada deposit asphalt yang memang banyak terdapat di lokasi tersebut. Beberapa ahli termasuk Harris dan Beardow (1995) mengatakan bahwa kandungan gas dengan tekanan tinggi dari dalam rekahan, menyembur dan membakar deposit asphalt. Tekanan tinggi ini akhirnya melontarkan asphalt terbakar itu keluar, termasuk menghujani Sodom dan Gomorrah.
Jadi dapat dibayangkan, begitu besarnya proses kehancuran Sodom dan Gomorrah. Kombinasi antara gempa, likuifaksi, dan hujan asphalt-sulfur yang terbakar, yang meluluhlantakkan kota dan menghancurkan penduduknya sehancur-hancurnya.
Terkecuali, Nabi Luth AS, atas petunjuk Allah SWT mengevakuasi anak-anaknya keluar dari ”the Sin Cities” itu. Subhanallah. Mudah-mudahan ini menjadi petunjuk bagi orang yang beriman.
seperti biasa, jika kalian ingin tahu lebih lanjut, bisa melihat atau menonton documentary di sini:
Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Pompeii
http://www.kangsambas.com/2015/04/pompeii-sejarah-mistis-pompeii-kota.html
http://www.kangsambas.com/2015/04/pompeii-sejarah-mistis-pompeii-kota.html
Langganan:
Postingan (Atom)